Jejak untuk hidup.
Sorak-sorai nada bicara keluar dari pita suara para manusia itu. Ah! Manusia! Barangkali aku menyebutnya sebagai bayangan yang berlarian kesana-kemari merebut gelar. Barangkali aku menyebutnya sebuah monster dan hubungan timbal balik, barangkali aku akan seperti itu.
Lantunan nada melebur kala seorang anak manusia berteriak keadilan dan kebenaran. Anak manusia itu berteriak seakan memberi perintah agar dunia kembali sunyi, sedetik. Kepalanya sudah ricuh, hancur lebur ditabrak elaborasi kata demi kata yang menyusun jadi satu, harapan dan tumbuh. Sial. Aku benci sekali mendengar dua kata itu dari setiap manusia yang melewatinya. Sial, ia kembali menjadi kepingan kasar.
“Bu, bagaimana? Bagaimana aku hidup? Bagaimana caranya aku mengais dan mengikis?”
Dikecupnya buah bibir manis si anak, manis tak berasa, namun juga tak berirama. Tak bernyawa, terkadang, sebab air mengikis sedikit alasannya untuk tersenyum. “Tidak apa, Nak, itu lah caranya dunia bekerja.”
Tapi, Bu. Aku merasa lapar — aku menjadi rakus, aku menjadi ingin segalanya. Sekali lagi, aku lapar, aku harus mengais tumpukan tanah. Aku, dilahap omong kosong. Tubuhku hangus, Bu. Tubuhku lenyap. Tubuhku ingin mati, sekejap jika kamu mengizinkan.
Bu, aku akan selalu haus dan lapar. Aku manusia yang lapar, ingin rasanya aku mencumbui segala masakan dan minuman. Bercumbu manis dan ria di pojok ruangan dengan lampu temaram sembari berujar, “Dunia, omong kosong. Keparat semua orang di dunia!”
Tapi, Bu. Sekali lagi, aku mengecap rasa haus dan lapar. Dahaga. Durhaka. Durjana menghujam tubuhku. Di dunia ini, pergantian tahun, sama, sama, sama. Barangkali ada yang berbeda, itu hanya sebuah ilusi dari apa yang aku bayangkan, Bu. Itu hanya sebuah tabrakan dimensi yang menjajal setiap malam yang merusak.
Tapi, Bu. Sekali lagi, aku mengecap rasa ini, sekali lagi aku berteriak pada keadilan dan kebenaran. Sekali lagi, ku mohon, beri ampun. Berikan ampun dan restu kepadaku untuk memberi jejak kehidupan. Berikan kecup manismu di keningku kala aku tertidur, agar malam berselimut kabut berganti dengan pagi beralaskan kapas. Berikan tanganmu agar aku mengetahui jalannya sebab aku tak pandai menggunakan penunjuk jalan. Bu, sekali lagi. Aku mohon.